BREAKING NEWS

10/recent/ticker-posts

Right Button

test banner SELAMAT DATANG DI WEBSITE "DAILY INFO", SELAMAT MEMBACA SEMOGA BERMANFAAT

Jeritan Anak Nagari Kasang: TJSL Hanyalah "Obat Merah" di Tengah Luka Rantai Produksi

 


Ambo (saya) Rizky Yori Ardi adalah anak nagari Kasang. Sekaligus direktur Lembaga Advokasi Rumah Aktivis Sejahtera (LARASH) yayasan yang focus pada pembangunan SDM dan kesejahteraan masyarakat Sumatera Barat. Kami hidup berdampingan dengan perusahaan raksasa milik perusahaan unggas besar, seperti Japfa dan Charoen Pokphand. Mereka datang membawa investasi, dan tentu saja, janji Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Atau yang akrab kita kenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR)  Namun, bagi kami, janji itu terasa seperti "obat merah" yang hanya menutupi luka, tanpa menyentuh akar masalah.

Perusahaan ini menguasai rantai produksi dari hulu ke hilir: dari bibit (DOC) hingga pakan. Di satu sisi, mereka melaksanakan program TJSL, mungkin berupa bantuan sembako, perbaikan masjid kecil, atau donasi sporadis. Kami akui, bantuan itu ada. Tapi, apa efeknya bagi kesejahteraan jangka panjang kami? Nihil,  Justru bagi kami yang terjadi adalah Kegagalan Dampak Jangka Panjang pada Kesejahteraan

TJSL yang diberikan perusahaan besar ini gagal menciptakan perubahan struktural karena:

1. Harga Input mencekik, Dana TJSL hanya Pengalih Isu: Peternak mandiri di Kasang tercekik oleh harga pakan dan DOC yang ditetapkan oleh perusahaan yang sama. Keuntungan peternak kami habis di hulu. Ketika perusahaan menyalurkan TJSL, itu hanya sebagian kecil dari excess profit yang mereka dapatkan dari dominasi pasar. Dana sosial itu tidak sebanding dengan kerugian triliunan yang dialami peternak mandiri di seluruh Sumatera Barat akibat oversupply dan harga yang jatuh.

2. Ketergantungan dan Subsidi Semu: Program kemitraan yang sering diklaim sebagai bentuk TJSL justru menciptakan ketergantungan. Perusahaan memberikan input, tetapi juga mengendalikan output dan harga jual. Ini bukan kemandirian, melainkan sistem yang menjepit peternak dalam lingkaran utang dan kerentanan. Program TJSL yang ideal seharusnya melatih kami untuk mandiri—misalnya, dengan menyediakan pabrik pakan komunal skala kecil atau membantu kami mengakses pasar hilir, bukan sekadar membagikan paket sembako.

Program TJSL seharusnya menjadi gerbang menuju peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Namun, di Kasang, kami tidak merasakan peningkatan signifikan dalam kualitas pendidikan masyarakat.

Jika perusahaan benar-benar berkomitmen pada TJSL, mereka harusnya fokus pada:

Beasiswa Penuh dan Berkelanjutan Bukan sekadar beasiswa parsial atau satu kali. Kami butuh beasiswa penuh untuk anak-anak nagari Kasang hingga jenjang sarjana di bidang peternakan, agribisnis, atau teknologi pengolahan pangan. Sebagai jawaban dari alasan klasik mereka bahwa nagari kami tidak punya SDM yang memenuhi kualifikasi yang mereka butuhkan, sehingga tenaga kerja dari masyarakat sekitar tidak terserap dengan optimal dan pada akhirnya kami dipaksa menjadi buruh ditanah leluhur kami, yang bahkan tanah tersebut belum jelas “jantan betinanya” (belum selesai masalah kepemilikan-nya)

Mendirikan pusat vokasi yang mengajarkan keterampilan teknis peternakan modern (closed house management), manajemen rantai pasok, dan pengolahan hasil ternak. Dengan demikian, anak nagari memiliki kompetensi untuk bersaing atau bahkan mendirikan usaha rintisan yang lepas dari cengkraman integrator. 

Investasi infrastruktur pendidikan berkualitas, Membangun atau merenovasi sekolah, menyediakan fasilitas digital, meperbaiki bangunan fisik yang menunjang fasisilitas umum untuk generasai muda dan menjamin akses ke mentor ahli.

Semangat ini tentu sejalan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) atau yang dikenal sebagai Omnibus Law Cipta Kerja, yang memiliki dampak positif yang sangat signifikan bagi pembangunan perekonomian Indonesia, terutama melalui tiga pilar utama: peningkatan investasi, kemudahan berusaha, dan pemberdayaan UMKM. tentunya nilai positif dari undang-undang ini tidak hanya dirasakan oleh perusahaan raksasa namun juga bagi masyarakat kecil yang perlahan-lahan harus keluar dari cengkraman kemiskinan menuju kesejahteraan dan kemandirian

Dilain sisi undang-undang tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) secara eksplisit mewajibkan perusahaan untuk berkontribusi pada pembangunan perekonomian masyarakat, khususnya melalui konsep "pembangunan ekonomi berkelanjutan".

Hal ini diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan peraturan pelaksanaannya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012. Kewajiban perusahaan untuk berkontribusi pada perekonomian masyarakat tercantum dalam definisi dan tujuan TJSL. 

Menurut UU PT, TJSL didefinisikan sebagai: "Komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya."Kata kunci "pembangunan ekonomi berkelanjutan" di sini mencakup upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, yang secara praktis diwujudkan melalui program-program yang mendukung perekonomian lokal.

Meskipun secara umum TJSL memiliki tiga pilar (ekonomi, sosial, dan lingkungan), fokus pelaksanaan yang diatur oleh undang-undang di Indonesia secara spesifik adalah bagi Perseroan Terbatas (PT) yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam (SDA) (Pasal 74 Ayat 1 UU PT).

Bagi perusahaan-perusahaan ini, realisasi kontribusi pada perekonomian masyarakat biasanya diwujudkan dalam bentuk:

1. Pengembangan Masyarakat (Community Development): Program peningkatan kapasitas dan ekonomi lokal di sekitar wilayah operasi perusahaan.

2. Pembiayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK): Pemberian bantuan modal, pelatihan, atau pendampingan untuk pelaku UMK setempat.

3. Hubungan yang Serasi dan Seimbang: Menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat sekitar agar tidak terjadi konflik sosial yang dapat mengganggu keberlanjutan usaha.

Dengan demikian, kontribusi pada perekonomian masyarakat bukanlah sekadar kegiatan sukarela atau amal, melainkan kewajiban hukum yang harus dianggarkan sebagai biaya perusahaan, dan wajib dilaporkan dalam laporan tahunan (Pasal 74 Ayat 2 dan 3 UU PT).

TJSL perusahaan raksasa di Kasang, dan mungkin di seluruh Sumatera Barat, hari ini hanya bersifat filantropi kosmetik—terlihat bagus di laporan tahunan, tetapi tidak berdampak pada struktur ekonomi dan kualitas SDM kami. Kami tidak butuh belas kasihan, kami butuh keadilan dalam rantai produksi dan investasi nyata yang mengangkat kami dari kerentanan ekonomi menuju kesejahteraan yang berkelanjutan dan berbasis pengetahuan. Kami menuntut agar TJSL diubah dari Corporate Social Responsibility menjadi Creating Shared Value (CSV) yang benar-benar menciptakan nilai bersama bagi perusahaan dan nagari kami.

Posting Komentar

0 Komentar

Selamat datang di Website www.dailyinfo.top, Terima kasih telah berkunjung, selamat membaca, tertanda Pemimpin Redaksi: Fitrya Sari