Padang Pariaman, Sumatera Barat | Keberhasilan jajaran Polres Padang Pariaman mengungkap kasus pembunuhan berantai terhadap tiga perempuan menggemparkan publik. Pelaku tunggal, Satria Juhanda (25) alias Wanda, menghabisi nyawa SA (24), SO (23), dan AG (24) dalam kurun waktu satu setengah tahun terakhir, dengan cara-cara yang sadis dan mengindikasikan pola femisida.
Kasus ini menjadi ironi di Sumatera Barat, provinsi dengan sistem adat matrilineal terbesar di dunia, namun berulang kali mencatat kekerasan ekstrem terhadap perempuan.
Awal Terbongkarnya Kasus
Kasus bermula dari hilangnya SA pada Minggu, 15 Juni 2025. Kepada ibunya, WN (54), SA pamit untuk bertemu teman sebelum berkunjung ke rumah keluarga di Kota Pariaman. Sejak pagi, SA tak kembali. Pesan terakhir yang ia kirim kepada ibunya terkesan janggal dan di luar kebiasaannya.
Kekhawatiran keluarga terbukti. Beberapa hari kemudian, bagian-bagian tubuh manusia ditemukan di aliran Sungai/Batang Anai. Pada Rabu, 18 Juni, identitas korban terungkap sebagai SA, putri tunggal pasangan DZ (58) dan WN. Kepolisian bergerak cepat.
Dini hari Kamis, 19 Juni, Polres Padang Pariaman menangkap Wanda di pabrik tempatnya bekerja sebagai satpam. Dalam interogasi, Wanda mengaku membunuh dan memutilasi SA di lokasi kerjanya yang sepi pada hari libur, lalu membuang jasadnya ke sungai.
“Pelaku mengaku membunuh karena korban memiliki utang Rp3,5 juta. Namun motif lain masih terus kami dalami,” ungkap Kapolres Padang Pariaman, AKBP Ahmad Faisol Amir.
Dua Korban Lain Terungkap
Penangkapan Wanda menjadi titik terang untuk dua kasus orang hilang lainnya, yakni SO dan AG, yang dilaporkan menghilang sejak Januari 2024. Wanda mengaku membunuh kedua perempuan itu dan menguburkan mereka di sumur rumahnya yang kemudian dicor.
SO merupakan pacar Wanda sejak 2019. Seusai membunuh SO, Wanda menjemput AG—sahabat SO—dan membunuhnya juga. Ia beralasan membunuh karena cemburu dan merasa dikhianati, versi yang masih didalami lebih lanjut oleh penyidik.
Polisi bersama tim forensik melakukan evakuasi jenazah dari sumur yang telah ditutupi rapi oleh pelaku. Ratusan warga menyaksikan langsung proses penggalian, yang berlangsung dramatis.
Kepedihan Keluarga dan Kecaman Publik
Duka mendalam menyelimuti keluarga korban. DZ, ayah SA, menggambarkan pelaku sebagai sosok yang dingin dan manipulatif. Bahkan, saat dicurigai, Wanda masih bersikap tenang dan memberi jawaban mengelabui.
“Kami ingin dia dihukum mati. Saya sendiri yang akan mengeksekusinya kalau bisa. Nyawa dibalas nyawa,” kata DZ.
Kematian SO bahkan membawa duka ganda. Ibunya, NY (49), meninggal dunia akibat serangan jantung setelah mendengar kabar pembunuhan putrinya. Ironisnya, Wanda selama ini justru mendampingi keluarga korban mencari keberadaan SO.
Fenomena Femisida di Sumbar
Kasus ini bukan insiden tunggal. Dalam satu tahun terakhir, tercatat dua pembunuhan sadis lain terhadap perempuan di Sumatera Barat, yakni kasus NKS (18) di Kayu Tanam dan CNS (16) di Tanah Datar. Semua menunjukkan pola kekerasan ekstrem berbasis gender.
Aktivis perempuan menilai tindakan Wanda tergolong femisida, yakni pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, atau pandangan superioritas terhadap perempuan.
“Kejadian ini adalah puncak dari rentetan kekerasan berbasis jender yang selama ini luput dari perhatian. Femisida adalah bentuk kekerasan paling ekstrem,” ujar Yefri Heriani, pendiri WCC Nurani Perempuan.
Langkah Tegas dan Tanggung Jawab Negara
Kapolres Faisol Amir menyatakan bahwa penyelidikan terus berlanjut, termasuk kemungkinan korban lain. Hasil autopsi dan penyelidikan forensik masih ditunggu untuk mengungkap kemungkinan pemerkosaan terhadap korban.
“Ini kasus yang kompleks. Kami pastikan setiap detail ditelusuri untuk memberi keadilan bagi para korban dan keluarga,” tegas Faisol.
Masyarakat dan aktivis mendesak pemerintah daerah untuk tidak lagi abai terhadap isu kekerasan berbasis jender. Perlindungan terhadap perempuan dan anak harus dijadikan prioritas nyata, bukan sekadar wacana.
Tim
0 Komentar